MASALAH STRUKTURAL KEDUA :
INFRASTRUKTUR FISIK
A.
Arti penting infrastruktur
Infrastruktur
masih menjadi masalah yang perlu dibenahi oleh pemerintah Indonesia.
Berdasarkan pembagiannya, infrastruktur dibagi menjadi tiga bagian :
1. Infrastruktur
keras fisik (physical hard infrastructure) meliputi jalan raya, rel kereta api,
bandara, dermaga, pelabuhan, bendungan, dan saluran irigasi.
2. Infrastruktur
keras non fisik (nonphysical hard infrastructure) yang berkaitan dengan fungsi
utilitas umum, seperti ketersediaan air bersih berikut dengan pengelolaan air
dan jaringan pipa penyaluran; pasokan air ; jaringan telkomunikasi (telepon,
internet) ; dan pasokan energy mulai dari minyak bumi, biodiesel, dan gas
berupa jaringan pipa distribusinya
3. Infrastrukturlunak
(soft infrastruktur) meliputiberbagainilai (etoskerja), norma (khususnya yang
telah dikembangkan dan dikodifikasikan menjadi peraturan hokum dan perundang -
undangan), serta kualitas pelayanan umum yang telah disediakan oleh pemerintah.
Infrastruktur merupakan penentu kelancaran dana
keselerasian pembangunan. Semakin cepat dan besar pembangunan ekonomi hendaknya
dibarengi dengan banyaknya infrastruktur yang diperlukan. Pengadaan
infrastruktur akan sangat memengaruhi secara positif perkembangan berbagai
sector ekonomi lainnya. Jika infrastruktur terbatas maka akan membawa dampak
negative karena pemanfaatan potensi dan sumberdaya ekonomi menjadi tidak
optimal.
Infrastruktur yang ada di Indonesia saat ini masih
dalam taraf minimal, sementara in frastruktur yang ada perawatannya tidak
memadai dan dapat dibilang kurang layak. Jika kita lihat infrastruk fisik yang
ada di Indonesia seperti jalan raya saja itu sudah kurang layak.Sebab jalan
raya yang ada di Indonesia sekarang ini telah dipenuhi dengan berbagai macam
kendaraan yang jumlahnya semakin banyak. Akan tetapi infrastruktur tersebut
tidak di kembangkan sehingga melebihi kapasitas jalan raya yang sebenarnya dan
akhirnya mengakibatkan kemacetan.
Selain jalan yang masih kurang optimal
infrastrukturnya kita juga bisa melihat infrastruktur penyediaan air
bersihdanlistrik.Yang mana keduanya sangat penting dalam kehidupan global saat
ini. Misalnya saja kita melihat pasokan listrik yang tebatas, ini akan
menghambat kinerja produksi dari suatu industri.
Jenis infrastruktur yang paling terabaikan adalah
infrastruktur lunak, yang mana dalam hal ini adalah dalam menciptakan dan
meningkatkan kesejahteraan bagi banyak penduduk. Pasar tidak akan dapat
berfungsi seperti diharapkan kalau tidak didukung oleh kerang kain stitusional
yang memadai.
C.
Infrastruktur Keras Non Fisik
1. Gambaran
Umum
Tabel III – 19
Data dan Peringkat Regional
Indonesia dalam Infrastruktur Keras Nonfisik, 2005
Elemen – Elemen Infrastruktur
Keras Nonfisik
|
Indonesia
|
Peringkat regional
|
Rasio
penduduk yang menikmati listrik (%)
|
55
|
11 dari 12
|
Rasio
penduduk yang memiliki sanitasi (%)
|
55
|
7 dari 11
|
Rasio
penduduk yang memiliki akses ke sumber air bersih (%)
|
14
|
7 dari 11
|
2. Infrastruktur Air Bersih dan Sanitasi
Satu catatan yang perlu terlebih dahulu diberikan disini,
yakni bahwa data tentang persentase penduduk indonesia yang menikmati air
bersih versi lembaga internasional (IMF, Bank Dunia) jauh berbeda dari data
yang dirilis BPS dan sumber statistik dalam negeri lainnya. Penyebabnya adalah
perbedaan kriteria dari “air bersih” itu sendiri. Di negara-negara maju, air
bersih berarti air yang sudah layak minum (tanpa harus direbus lebih dahulu)
dan bisa digunakan untuk keperluan apa saja. Karena air minum seperti itu masih
merupakan kemewahan di negara-negara berkembang, maka lembaga-lembaga
internasional kemudian menetapkan standar air bersih yang lebih rendah,
meskipun ternyata tetap terlalu tinggi bagi negara-negara berkembang itu
sendiri. Misalnya saja data dari UNDP dan Bank Dunia tentang rasio penduduk
yang punya akses terhadap air bersih ternyata sangat jauh berlainan.
Definisi air bersih di indonesia didasarkan pada UU
no.7/2004 tentang Sumber Daya Air yang menyebut bahwa kualitas terbaik air
adalah “air layak minum” (sebelumnya istilahnya adalah “air bersih”), namun
lagi-lagi kualitasnya juga masih di bawah standar internasional karena air
layak minum adalah air yang aman di minum setelah melalui proses perebusan atau
pengolahan tertentu terlebih dahulu. Air bersih yang bisa langsung diminum dari
keran PDAM sama sekali tidak disinggung karena memang sama sekali tidak
tersedia di tanah air tercinta ini. Karena itu, data persentase penduduk
indonesia yang memperoleh akses terhadap air bersih menurut lembaga internasional
sangat berbeda (jauh lebih rendah) daripada data serupa yang dikeluarkan
instansi dalam negeri seperti BPS. Pada tabel III-19 di bawah disebutkan bahwa
sampai pada tahun 2005 hanya 14 persen penduduk indonesia yang punya akses
terhadap air bersih. Sedangkan menurut data BPS (bekerjasama dengan UNDP), pada
tahun 2000 sudah 78 persen penduduk indonesia yang punya akses terhadap air
bersih.
Tabel III-20:
Rasio Penduduk yang Memiliki Akses Terhadap Air Bersih
dan Sanitasi
Indikator
|
1990
|
2000
|
2002
|
Rasio Penduduk Indonesia yang Memiliki Akses ke
Sanitasi
|
47
|
55
|
63,5
|
Rasio Penduduk Indonesia yang Memiliki Akses ke Air
Bersih
|
71
|
78
|
78
|
Terlepas dari
definisi data air bersih mana yang hendak digunakan, yang pasti rasio penduduk
di indonesia yang memiliki akses terhadap air bersih dan sanitasi alias
kesehatan lingkungan (sistem limbah cair dan kering, kebersihan, dll) yang juga
mengandalkan pada ketersediaan air bersih, masih sangat dan terlampau rendah
dibandingkan dengan standar manusiawi yang mana pun. Harus diingat bahwa air
bersih merupakan kebutuhan pokok manusia yang paling mendasar, lebih mendasar
dibandingkan dengan listrik atau BBM sekalipun.
Fakta betapa
kebutuhan mendasar air bersih bagi penduduk indonesia masih jauh dari harapan.
Yang lebih memprihatinkan lagi, dari waktu ke waktu PDAM kian tidak mampu
menjalankan tugas pokoknya dalam menyediakan air bersih kepada masyarakat
seiring dengan meningkatnya kebutuhan sehubungan dengan pertambahan penduduk.
Ini dibuktikan oleh
fakta bahwa DKI Jakarta, gugusan hutan beton yang kian tidak punya tempat
menampung air alam, justru mencatat rasio penduduk pemilik akses air bersih
PDAM tertinggi, yakni 46 persen. Sedangkan provinsi lain yang sumber daya
airnya melimpah justru memiliki rasio penduduk pemilik akses air bersih PDAM
yang sangat rendah. Lagi-lagi dana menjadi masalah utama dalam infrastruktur
air bersih ini. Yang tak kalah pentingnya adalah kesadaran pengelola air bersih
itusendiri yang wewenangnya ada ditangan Pemda.
Kemungkinan besar
terbatasnya akses air bersih bagi penduduk ini akan berlanjut cukup lama.
Indikasinya dapat dilihat pada begitu besarnya perbedaan antara target
instansi-instansi terkait dengan target MDGs (Millenium Development Goals) yang
mencoba memperkirakan target-target yang harus dipenuhi jika Indonesia ingin
lebih maju diberbagai bidang. Tabel III-22 menunjukkan betapa kecilnya
target-target instansi teknis dalam penyediaan air bersihmelalui perpipaan,
instansi teknis hanya mematok target 17,96 persen untuk tahun 2004, dan 31,61
persen untuk tahun 2009 (ini sudah jauh lebih rendah dari target yang
ditetapkan pemerintah sendiri melalui Rencana Pembangunan Jangka Menengah/RKPMN
yang mematok target 40 persen). Itu berarti, untuk jangka waktu yang lama,
penduduk Indonesia masih terbilang sulit memenuhi kebutuhan air bersihnya.
Keterbatasan air
bersih mengakibatkan pula rendahnya akses masyarakat terhadap sanitasi atau
kesehatan lingkungan. Yang disebut dengan sanitasi adalah tersedianya berbagai
fasilitas pembuangan dan kebersihan di tingkat rumah tangga sampai pada
lingkungan pemukiman (bertahap dari tingkat RT, kelurahan, kecamatan,
kota/kabupaten, provinsi hingga nasional). Datanya dari sumber dalam dan luar
negeri lagi-lagi berbeda, karena standar sanitasi yang dianut juga berlainan.
Pada tabel III-19 disebutkan sampai pada tahun 2005 baru sekitar 55 persen
penduduk Indonesia yang memiliki akses terhadap sanitasi, namun BPS menyebutkan
sampai pada tahun 2002 secara nasional sudah 80 persen penduduk Indonesia yang
memiliki akses sanitasi.
Kalau di Singapura
sudah ada pengolahan canggih limbah cair menjadi cadangan air siap minum
(meskipun secara komersial air bersih ini tidak diminati karena kendala
psikologis penduduk meminum air hasil olahan air seni orang lain), maka di
Indonesia semuanya dibuang begitu saja ke sungai atau ke dalam tanah.
Tabel III-23
Persentase
Penduduk yang Terlayani Jasa Pembuangan Sampah
Wilayah
|
Jumlah Jiwa
|
%Cakupan
|
Sumatera
|
8.218.197
|
23,39
|
Jawa Bali
|
21.294.350
|
60,62
|
Kalimantan
|
1.806.718
|
5,14
|
Sulawesi
|
2.228.856
|
6,34
|
Indonesia Timur Lainnya
|
1.582.065
|
4,50
|
INDONESIA
|
35.130.186
|
32,11
|
3. Situasi
Kelistrikan
Perbandingan angka
konsumsi listrik di Malaysia hampir mencapai 3.000 kwh/kapita/tahun, di
Thailand sekitar 1.500 kwh/kapita/tahun, dan di Cina hamper 1.000 kwh/tahun.
Menurud survei yang dilakukan bank Dunia (2004), kerugian dunia usaha dari
butuknya kualitas pasokan listrik (electricity
outage) di Indonesia telah mencapai di atas 6 persen dari total penjualan.
Tingkat kerugian serupa yang dialami pengusaha di Malaysia serta Cina, dan
bahkan Kambija, ternyata lebih rendah dari Indonsia. Filipina yang tercatat
mengalami kerugian lebih besar dari Indonesia.
Yang sangat menyesakkan , ditengah keterbatasan kuantitas dan
buruknya kualitas pasokan listrik, pengusaha sektor industry di Indonesia harus
membayar tariff listrik yang lebih mahal dibandingkan dengan rata-rata Negara
tetangga. Konsumen listrik industri dibuat tak berkutik oleh perilaku PT PLN –
sebagai satu-satunya pemegang hak pengusaha listrik di Indonesia (monopoli) –
yang menerapkan tariff listrik ‘sesuka hati’. Praktik yang paling membebani
kalangan industry ialah penerapan tarif “multiguna” yang mencapai sekitar dua
sampai tiga kali lipat dari tariff rata-rata industry. Memasuki tahun 2008, PLN
kian tidak berdaya mencukupi kebutuhan listrik penduduk akibat lonjakan
harga-harga energy mulai dari minyak hingga batu bara.
Semua
kalangan diminta “bersabar” karena pemadaman bergilir benar-benar harus
dilakukan. Pusat-pusat pertokoan, hotel, dan pabrik-pabrik bahkan diminta
menyiapkan genset sendiri karena masalah listrik. Padahal, sebagaimana diperlihatkan
pada table III-24 dan Peraga III-21, biaya listrik dari pengguna genset sendiri
(berbahan bakar diesel) jauh lebih mahal dibandingkan dengan biaya listrik PLN.
Tabel
III-24 :
Konsumsi
Listrik Rata-rata Penduduk
NEGARA
|
1998
|
2000
|
Cina
|
722
|
827
|
Indonesia
|
525
|
584
|
Malaysia
|
2.554
|
2.628
|
Filipina
|
466
|
477
|
Thailand
|
1.345
|
1.448
|
Vietnam
|
232
|
286
|
Kegagalan PLN dalam menyediakan pasokan
listrik secara memadai itu adalah kesalahan strategi periode krisis di mana PLN
menghentikan semua pembangunan infrastruktur kelistrikan karena begitu terpaku
pada kondisi keuangan jangka pendek. Para petinggi PLN tampaknya tidak mau
dianggap tidak becus kalu rapor PLN “merah” dengan angka kerugian.
Pada
periode 1968-1993 kapasitas pembangkitan listrik nasional meroket 24 kali
lebih, dari 542 megawatt (MW) menjadi 13.569 MW. Investasi infrastruktur
dipacu, khususnya pada periode 1993-1996, sejak berlakunya UU No. 15/1985
tentang Ketenagalistrikan. PLN membangun kapasitas pembangkit listrik baru
sebesar 7.996 MW dengan jaringan trasmisi sepanjang 6.350 kilometer,
gardu-gardu induk berkapasitas 16.816 MVA, serta berbagai jaringan trasmisi
penyalur dan distribusi penunjang. Program listrik masuk desa dipacu sehingga
pada periode itu jumlah desa yang menikmati listrik melonjak dari 36.243
menjadi 45.941 desa di seluruh wilayah Indonesia.
Selama periode 1999-2001 kapasitas listrik terpasang hanya naik
1,13 persen, dan tentu saja pada akhirnya PLN tidak mampu lagi menutupi
kebutuhan listrik yang terus meningkat, khususnya setelah perekonomian
Indonesia mulai aktif menggeliat dan lepas dari jebakan pertumbuhan ekonomi rendah
pada pertengahan dasawarsa pertama abad ke-21, sehingga pertumbuhan tahunan
kebutuhan listrik mencapai 8,85 persen per tahun. Ketika harga minyak dunia
terus meroket sejak pertengahan 2004, maka PLN lagi-lagi mengalami pukulan
telak, terutama akibat kesalahannya sendiri. Untuk kesekian kalinya
pertimbangan ekonomis jangka pendek yang dikedepankan oleh manajemen PLN.
Pembangunan pusat pembangkit tenaga listrik non-energi fosil seperti PLTA,
PLTG, atau bahkan PLTS (tenaga surya) memang jauh lebih mahal (juga perlu
pengolahan kapasitas sendiri karena kinerja pembangkit tenaga listrik ini
dipengaruhi oleh cuaca dan kondisi alam), akan tetapi jelas dalam jangka
panjang akan jauh lebih menguntungkan; selain lebih murah, pembangkitan listrik
demikian akan lebih tahan terhadap gejolak harga energi yang kian sering
terjadi di dunia.
Tabel III-25 :
Perbandingan
Bianya Listrik dari Diesel dan PLN
|
Rp
|
USS
|
||||
Tahun
|
DIESEL
|
PLN
|
DIESEL
|
PLN
|
||
|
Harga/Liter
|
Harga/Kwh
|
Harga/Kwh
|
Harga/LTR
|
Harga/kwh
|
Harga kwh
|
2000
|
Rp
550
|
Rp
164,5
|
Rp
260
|
$ 0.07
|
$ 0.02
|
$ 0.03
|
2001
|
Rp
1.050
|
Rp
314,0
|
Rp
260
|
$ 0.13
|
$ 0.03
|
$ 0.02
|
2002
|
Rp
1.050
|
Rp
314,0
|
Rp
440
|
$ 0.13
|
$ 0.04
|
$ 0.05
|
2003
|
Rp
1.650
|
Rp
493,4
|
Rp
460
|
$ 0.20
|
$ 0.06
|
$ 0.06
|
2004
|
Rp
1.650
|
Rp
493,4
|
Rp
510
|
$ 0.20
|
$ 0.06
|
$ 0.06
|
2005
|
Rp
5.350
|
Rp1.599,7
|
Rp
620
|
$ 0.64
|
$ 0.17
|
$ 0.07
|
2006
|
Rp6.285
|
Rp
1.879
|
Rp
620
|
$ 0.70
|
$ 0.21
|
$ 0.07
|
Tabel
III-26 :
Potensi Pengambangan
Pusat dengan Energi Pembangkit Listrik Tergantikan
Jenis Energi
|
Potensi
|
Kapasitas Terpasang
|
Persentasi
Pemanfaatan (%)
|
Hidro
|
75,67 GW
|
4.200 MW
|
5,55
|
Geothermal
|
27 GW
|
802 MW
|
2,97
|
Mini/mikro
hidro
|
712 MW
|
206 MW
|
28,93
|
Biomass
|
49,81 GW
|
302,4 MW
|
0,61
|
Surya
|
4,8 kwh/m2/hari
|
5 MW
|
-
|
Angin
|
3-6 m/dt
|
0.5 MW
|
-
|
Kesalahan fatal terbesar yang dilakukan PLN adalah yang lantas
dipilih sebagai solusi bukannya pengadaan kembali pembangunan infrastruktur
kelistrikan, melainkan justru reaksi sementara gampangan berupa pemadaman
bergilir dan kampanye penurunan konsumsi listrik yang yang secara ekonomis
bersifat kontraproduktif. Untuk menciptakan pasokan listrik secara mencukupi
dan berkesinambungan dalam berjangka panjang, patut dipertimbangkan pembangunan
pusat-pusat pembangkitan listrik dengan energi tergantikan, dan sudah waktunya
pemakaian energi tak tergantikan (minyak, batu bara, dan gas) diakhiri karena
selain harganya kian mahal, pasokan nya juga terbatas.
4. Infrastruktur
distribusi energi ( gas )
Terkait dengan soal
kelistrikan, Indonesia kini tengah mengalami krisis energi. Masih juga banyak
diantara kita yang memahami bahwa Indonesia secara neto sudah bukan merupakan
negara produsen, melainkan konsumen alias pengimpor minyak. Karena itu, pula
Indonesia merasa sudah waktunya keluar dari OPEC, dikarenakan status Indonesia
bukan sebagai “ eksportir utama” lagi. Untuk memenuhi kebutuhan nasional saja
Indonesia sudah sangat kesulitan meskipun Indonesia memiliki cadangan gas
terbesar diASEAN dan didunia.
Berikut tabel Sumber Daya Energi di
Indonesia,sebagai gambaran keadaan Energi di Indonesia :
Tabel
111-27
Potensi
Sumber Daya Energi Indonesia
No
|
Sumber
Energi
|
Potensi
|
Potensi
dunia
|
Cadangan terbukti
|
Produksi
( Tahun )
|
Keterangan
|
1
|
Minyak Bumi
|
321 miliar barel
|
1.2%
|
5 miliar
|
500 juta barel
|
Habis dalam 10 tahun ekspor
|
2
|
Gas Bumi
|
507 TSCF
|
3,3%
|
90 TSCF
|
3 TCF
|
Habis dalam 30 tahun untuk ekspor
|
3
|
Batubara
|
50 miliar ton
|
3%
|
5 miliar ton
|
100 juta ton
|
Habis dalam 50 tahun untuk ekspor
|
4
|
Tenaga Air
|
75 ribu MW
|
0,02%
|
75 ribu MW
|
4200 MW
|
Sulit untuk pengembangan skala
besar,domestik
|
5
|
Panas Bumi
|
27 ribu MW
|
405
|
2,305 MW
|
807 MW
|
Sebagai energi terbarukan, dapat
dikonsumsikan dalam jangka waktu yang cukup lama
|
Namun baik minyak, batu bara, dan gas
lambat launpasti akan habis. Sementara kehidupan yang memerlukan energi akan
terus berjalan. Cepat atau lambat harus dicari sumber-sumber energi baru untuk menghadapi tuntutan kehidupan masa
depan yang takkan terlepas dari persoalan pasokan energi. Sebenarnya bukan
hanya Indonesia, tetapi dunia kini tengah terancam serius oleh kelangkaan energi ( atau minimal krisis lonjakan harga energi )
karena sumber daya energi fosil yang selama ini diandalkan kian terbatas
cadangannya. Bagi Indonesia,kemungkinan habisnya sumber energi fosil itu
bagaikan sudah dipelupuk mata ( lihat Tabel 111-27 ).
Minyak, meskipun harganya kian mahal dan
pasokannya kian terbatas, paling tidak dalam jangka pendek akan tetap
daindalkan sebagai sumber energi utama. Khusunya untuk bahan bakar dalam
berbagai kegiatan transportasi serta untuk ekspor. Oleh sebab itu, dalam jangka
menengah dan panjang, tampaknya gas akan sebagai sumber energi utama didalam
negeri. Hal ini terbukti dengan adanya program pemerintah untuk mengonversikan
pemakaian minyak tanah dikalangan masyarakat segala lapisan dengan pemakaian
gas.
Terkait dengan kian diutamakannya gas
sebagai energi nasional utama, maka efisiensi pengadaan dan pemnyaluran gas
kian penting, dan sejalan dengan itukian penting pula infrastruktur distribusi
gas. Sisitem distribusi yang efisien akan banyak menghemat biayasehingga dapat
menekan harga dipasaran. Sejauh ini, jaringan transmisi gas di Indonesia
sepanjang 1300 km dan jaringan distribusi gas 2600 km, namun hanya untuk
keperluan ekspor. Jaringan transmisi dan distribusi yang tak sampai 4000 km
akan sangat minim dengan potensi dan kebutuhan nasional akan gas. Padahal
Indonesia memiliki ladang-;ladang gas dan fasilitas pengelolaan memungkinkan
Indonesia menjadi produsen LNG terbesar didunia.
Seandainya saja bisa dibangun
infrastruktur distribusi gas berskala nasional, sehingga tiap rumah tangga,
restoran, dan pemakai lainnya terhubung dengan jaringan pipa gas nasional itu,
maka harga gas yang tersedia akan begitu murahnya, dan besarnya kontribusi
ketersediaan energi murah itu bagi produktivitas nasional. Selama ini, urusan
gas lebih dipusingkan oleh penyediaan tabung gas, pengangkutan dari depot
pengisian ketituk-titik distribusi, dan biaya transportasinya kalau
dihitung-hitung pada daerah terpencil akan lebih mahal daripada kandungan
gasnya sendiri.
5. Infrastruktur
ICT
Keterbatasan infrastruktur
informasi telekomunikasi (ICT) atau bias pula disebut sebagai infrastruktur
telematika, menjadi kendala structural berikutnya. Ketersediaan sarana
komunikasi per kapita penduduk di Indonesia masih sangat rendah, sehingga akses
informasi untuk tiap warga masyarakat juga relative rendah. Sebagai contoh,
kalau rata-rata hamper separuh penduduk di tiap Negara berkembang di seluruh
dunia sesudah membaca Koran, maka di Indonesia baru sampai seperempat penduduk
yang menikmati surat kabar setiap hari. Dengan kondisi demikian, maka segala
upaya diseminasi (penyebaran) informasi apa saja secara missal di Indonesia
akan berdampak terbatas. Media televisi banyak membantu, namun jangkauannya
juga masih terbatas sehingga penyediaan berbagai sarana komunikasi itu tetap
penting.
Menurut Badan
Telekomonukasi Internasianal (ITU), keterbelakangan infrastruktur telematika
(ICT) mengakibatkan tidak akan optimnalnya berbagai program pembangunan ekonomi
maupun social-budaya. Hal ini sudah terjadi di Indonesia, karena lemahnya
infrastruktur telematika (ICT) kita dibandingkan dengan ASEAN sekalipun. Tetapi
kondisi saudara kita yang berada di pedalaman Kalimantan, papua dan di ribuan
pulau kecil yang jauh dari mana pun.
Tanpa pengembangan
sarana komunikasi, maka masyarakat di berbagai wilayah terpencil akan terus
hidup dalam keterasingan dan isolasi karena begitu terbatasnya sentuhan
informasi dari luar. Program pembangunan
akan sulit menjangkau penduduk di wilayah demikian. Rasio dasar ketersediaan
infrastruktur di Indonesia (formula DAI – ITU) baru mencapai 0,34 (menduduki
peringkat 63 dunia). Dalam hal ini, Indonesia jauh tertinggal dari Singapura
yang mencapai rasio 0,75 (peringkat ke-3), Malaysia dengan 0,57 (peringkat
ke-32) dan Thailand dengan rasio 0,48 (peringkat ke-41). Indonesia memang bukan
Negara pemilik infrastruktur terburuk di dunia, namun masak iya kita betah
berada dalam kategori yang sama dengan Negara-negara terbelakang.
Baru sekitar 3,8 persen
penduduk Indonesia yang memiliki telepon sambungan permanen (telepon rumah).
Itu pun untuk penduduk perkotaan, karena untuk penduduk di kawasan terpencil,
rasianya bahkan jauh lebih rendah lagi, yakni hanya 0,1 persen. Rasia serendah
ini hamper sama dengan rasio pada zazman penjajahan Belanda. Sekitar 40 persen
kota kecamatan di Indonesia sama sekali tidak punya sambungan telepon tetap,
dan lebih dari 60 persen desa di Indonesia tidak punya sambungan tetap sama sekali.
Keterbatasan
infrastruktur juga mengakibatkan struktur biaya yang tidak efisien sehingga
biaya telekomunikasi di Indonesia juga relative mahal. Selama berbagai
keterbatan itu tidak dibatasi, maka selama itu pula struktur biaya sulit
diefisienkan. Namun dewasa ini, biaya di Malaysia sudah jauh lebih murah dari pada di
Indonesia. Jumlah para pahlawan devisa asal Indonesia yang tersebar
dimancanegara saat ini sudah mencapai 4 juta jiwa. Data terbaru yang disajikan
oleh International Telecommunication Union di Tahun 2007 yang dikutip oleh
laporan riset Bank Indonesia edisi Januari 2008 menunjukkan bahwa sampai tahun
itu, infrastruktur telematika/ICT di Indonesia masih sangat terpuruk, dan di
lingkungan 10 negara ASEAN menduduki
papan bawah bersama sejumlah Negara yang memang dikenal masih terbelakang.
Untuk sumbangan telepon tetap, baru 57 orang per 1000 penduduk Indonesia yang
memilikinya.
Hal ini menjadikan
Indonesia hanya menduduki peringkat ke-6 dari 10 negara ASEAN dalam
infrastruktur sambungan telepon tetap. Sampai pada tahun 2007 baru 211 orang
per 1000 penduduk yang menggunakan internet (baru 72 orang per 1000 penduduk).
Di sisi penyedia jasa, perkembangan pembangunan jaringan telepon tetap dan
system telekomunikasi bergerak (STB) juga mengalami perlambatan gara-gara
krisis dam sampai pada tahun 2005 tingkatnya belum dapat menytamai yang sudah
pernah di capai sebelum krisis.
Dewasa ini, masyarakat
dunia kian gandrung dengan internet. Jumlah pengguna internet di Indonesia pun
berkembang dan cukup pesat, tetapi tidak sepesat seperti Negara-negara lainnya.
Biaya bandwidth di Indonesia ternyata luar biasa mahalnya, nahkan jauh lebih
mahal ketimbang harga di Hong Kong dan jerman yang dikenal sebagai wilayah –
wilayah di dunia dengan biaya hidup termahal, juga lebih mahal ketimbang
Negara-negara tetangga terdekat seperti Malaysia dan singapura.
Biaya pulsa telepon
(untuk sambungan berbasis sambungan telepon regular) dan biaya abonemen untuk
ISP (Internet service Provider) di Indonesia jauh lebih mahal dari pada di
banyak Negara lain, bahkan sumbangan telepon di Negara-negara maju yang indeks
biaya hidupnya tinggi dari pada di Indonesia. Informasi membuka gerbang
informasi, dan informasi merupakan kunci kemajuan. Sebaliknya, keterbatasan
infrastruktur ICT/telematika mengakibatkan kesenjangan digital (digital divide)
yang kian tajam antara Indonesia dengan Negara-negara lain yang sedah lebih
maju, yang pada akhirnya kian menyulitkan kita mengejar berbagai ketertinggalan
yang sudah ada selama ini, bahkan ada kemungkinan kita akan makin tercecer.
Dengan kondisi
infrastruktur ICT yang serba terbatas, maka E-readiness Indonesia pun berada di
papan bawah. E-readiness adalah indicator yang mengukur sejauh mana kuantitas
dan kualitas infrastruktur ICT disuatu Negara, serta sejauh mana pemerintah,
kalangan bisnis, dan warga masyarakat luas dapat memanfaatkannya dalam kegiatan
pekerjaan atau minatnya masing-masing. Pada pemeringkatan E-readiness yang
dilakukan oleh Economist Intelligent Unit (EIU) ada enam criteria yang
digunakan yakni (1) adopsi perangkat teknologi ICT itu sendiri oleh masyarakat
luas, termasuk kalangan bisnis dengan bobot skor 25 persen, (2) tingkat
konektivitas dan infrastruktur teknologi yang tersedia dengan bobot 20 persen,
(3) lingkungan bisnis ICT yang berbovot 15 persen, (4) lingkungan social dan
cultural di masyarakat yang turut menentukan dengan bobot 15 persen, (5) factor
kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku berkenaan dengan ICT
atau telematika dengan bobot 10 persen, (6) isi dan program pengembangan ICT
oleh pemerintah dengan bobot 15 persen.
Dalam dua kali penelitian untuk
pemeringkatan terakhir (tahun 2008 dan tahun 2007) Indonesia sama-sama
memperoleh skor 3,59 dan 3,39 yang terbilang sangat rendah. Namun dalam urutan
Indonesia justru merosot . Dari 69
negara yang disurvei pada tahun 2007, Indonesia menempati urutan ke-67 atau
ketiga dari bawah, sedangkan dari 70 negara yang disurvei pada tahun 2006
indonesia menempati urutan ke-68 dari 70 negara yang di survey, atau tetap
peringkat ketiga dari bawah. Indonesia juga kalah dari Filipina, india dan Sri
Lanka. Padahal, kebanyakan computer yang digunakan diberbagai instansi
pemerintah di Sri Lanka masih berkelas Pentium I, dan umumnya masih memakai
printer dot matriks.
0 comments:
Posting Komentar