Senin, 24 Desember 2012

MASALAH STRUKTURAL KEDUA : INFRASTRUKTUR FISIK

Posted by Rivy at 13.56

5. Infrastruktur ICT
Keterbatasan infrastruktur informasi telekomunikasi (ICT) atau bias pula disebut sebagai infrastruktur telematika, menjadi kendala structural berikutnya. Ketersediaan sarana komunikasi per kapita penduduk di Indonesia masih sangat rendah, sehingga akses informasi untuk tiap warga masyarakat juga relative rendah. Sebagai contoh, kalau rata-rata hamper separuh penduduk di tiap Negara berkembang di seluruh dunia sesudah membaca Koran, maka di Indonesia baru sampai seperempat penduduk yang menikmati surat kabar setiap hari. Dengan kondisi demikian, maka segala upaya diseminasi (penyebaran) informasi apa saja secara missal di Indonesia akan berdampak terbatas. Media televisi banyak membantu, namun jangkauannya juga masih terbatas sehingga penyediaan berbagai sarana komunikasi itu tetap penting.
Menurut Badan Telekomonukasi Internasianal (ITU), keterbelakangan infrastruktur telematika (ICT) mengakibatkan tidak akan optimnalnya berbagai program pembangunan ekonomi maupun social-budaya. Hal ini sudah terjadi di Indonesia, karena lemahnya infrastruktur telematika (ICT) kita dibandingkan dengan ASEAN sekalipun. Tetapi kondisi saudara kita yang berada di pedalaman Kalimantan, papua dan di ribuan pulau kecil yang jauh dari mana pun.
Tanpa pengembangan sarana komunikasi, maka masyarakat di berbagai wilayah terpencil akan terus hidup dalam keterasingan dan isolasi karena begitu terbatasnya sentuhan informasi dari luar.  Program pembangunan akan sulit menjangkau penduduk di wilayah demikian. Rasio dasar ketersediaan infrastruktur di Indonesia (formula DAI – ITU) baru mencapai 0,34 (menduduki peringkat 63 dunia). Dalam hal ini, Indonesia jauh tertinggal dari Singapura yang mencapai rasio 0,75 (peringkat ke-3), Malaysia dengan 0,57 (peringkat ke-32) dan Thailand dengan rasio 0,48 (peringkat ke-41). Indonesia memang bukan Negara pemilik infrastruktur terburuk di dunia, namun masak iya kita betah berada dalam kategori yang sama dengan Negara-negara terbelakang.
Baru sekitar 3,8 persen penduduk Indonesia yang memiliki telepon sambungan permanen (telepon rumah). Itu pun untuk penduduk perkotaan, karena untuk penduduk di kawasan terpencil, rasianya bahkan jauh lebih rendah lagi, yakni hanya 0,1 persen. Rasia serendah ini hamper sama dengan rasio pada zazman penjajahan Belanda. Sekitar 40 persen kota kecamatan di Indonesia sama sekali tidak punya sambungan telepon tetap, dan lebih dari 60 persen desa di Indonesia tidak punya sambungan tetap  sama sekali.
Keterbatasan infrastruktur juga mengakibatkan struktur biaya yang tidak efisien sehingga biaya telekomunikasi di Indonesia juga relative mahal. Selama berbagai keterbatan itu tidak dibatasi, maka selama itu pula struktur biaya sulit diefisienkan. Namun dewasa ini, biaya di Malaysia  sudah jauh lebih murah dari pada di Indonesia. Jumlah para pahlawan devisa asal Indonesia yang tersebar dimancanegara saat ini sudah mencapai 4 juta jiwa. Data terbaru yang disajikan oleh International Telecommunication Union di Tahun 2007 yang dikutip oleh laporan riset Bank Indonesia edisi Januari 2008 menunjukkan bahwa sampai tahun itu, infrastruktur telematika/ICT di Indonesia masih sangat terpuruk, dan di lingkungan 10 negara  ASEAN menduduki papan bawah bersama sejumlah Negara yang memang dikenal masih terbelakang. Untuk sumbangan telepon tetap, baru 57 orang per 1000 penduduk Indonesia yang memilikinya.
Hal ini menjadikan Indonesia hanya menduduki peringkat ke-6 dari 10 negara ASEAN dalam infrastruktur sambungan telepon tetap. Sampai pada tahun 2007 baru 211 orang per 1000 penduduk yang menggunakan internet (baru 72 orang per 1000 penduduk). Di sisi penyedia jasa, perkembangan pembangunan jaringan telepon tetap dan system telekomunikasi bergerak (STB) juga mengalami perlambatan gara-gara krisis dam sampai pada tahun 2005 tingkatnya belum dapat menytamai yang sudah pernah di capai sebelum krisis.
Dewasa ini, masyarakat dunia kian gandrung dengan internet. Jumlah pengguna internet di Indonesia pun berkembang dan cukup pesat, tetapi tidak sepesat seperti Negara-negara lainnya. Biaya bandwidth di Indonesia ternyata luar biasa mahalnya, nahkan jauh lebih mahal ketimbang harga di Hong Kong dan jerman yang dikenal sebagai wilayah – wilayah di dunia dengan biaya hidup termahal, juga lebih mahal ketimbang Negara-negara tetangga terdekat seperti Malaysia dan singapura.
Biaya pulsa telepon (untuk sambungan berbasis sambungan telepon regular) dan biaya abonemen untuk ISP (Internet service Provider) di Indonesia jauh lebih mahal dari pada di banyak Negara lain, bahkan sumbangan telepon di Negara-negara maju yang indeks biaya hidupnya tinggi dari pada di Indonesia. Informasi membuka gerbang informasi, dan informasi merupakan kunci kemajuan. Sebaliknya, keterbatasan infrastruktur ICT/telematika mengakibatkan kesenjangan digital (digital divide) yang kian tajam antara Indonesia dengan Negara-negara lain yang sedah lebih maju, yang pada akhirnya kian menyulitkan kita mengejar berbagai ketertinggalan yang sudah ada selama ini, bahkan ada kemungkinan kita akan makin tercecer.
Dengan kondisi infrastruktur ICT yang serba terbatas, maka E-readiness Indonesia pun berada di papan bawah. E-readiness adalah indicator yang mengukur sejauh mana kuantitas dan kualitas infrastruktur ICT disuatu Negara, serta sejauh mana pemerintah, kalangan bisnis, dan warga masyarakat luas dapat memanfaatkannya dalam kegiatan pekerjaan atau minatnya masing-masing. Pada pemeringkatan E-readiness yang dilakukan oleh Economist Intelligent Unit (EIU) ada enam criteria yang digunakan yakni (1) adopsi perangkat teknologi ICT itu sendiri oleh masyarakat luas, termasuk kalangan bisnis dengan bobot skor 25 persen, (2) tingkat konektivitas dan infrastruktur teknologi yang tersedia dengan bobot 20 persen, (3) lingkungan bisnis ICT yang berbovot 15 persen, (4) lingkungan social dan cultural di masyarakat yang turut menentukan dengan bobot 15 persen, (5) factor kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku berkenaan dengan ICT atau telematika dengan bobot 10 persen, (6) isi dan program pengembangan ICT oleh pemerintah dengan bobot 15 persen.    
Dalam dua kali penelitian untuk pemeringkatan terakhir (tahun 2008 dan tahun 2007) Indonesia sama-sama memperoleh skor 3,59 dan 3,39 yang terbilang sangat rendah. Namun dalam urutan Indonesia justru merosot .  Dari 69 negara yang disurvei pada tahun 2007, Indonesia menempati urutan ke-67 atau ketiga dari bawah, sedangkan dari 70 negara yang disurvei pada tahun 2006 indonesia menempati urutan ke-68 dari 70 negara yang di survey, atau tetap peringkat ketiga dari bawah. Indonesia juga kalah dari Filipina, india dan Sri Lanka. Padahal, kebanyakan computer yang digunakan diberbagai instansi pemerintah di Sri Lanka masih berkelas Pentium I, dan umumnya masih memakai printer dot matriks.  


0 comments:

Posting Komentar

 

BLUE BUTTERFLY Copyright © 2010 Design by Ipietoon Blogger Template Graphic from Enakei | web hosting