5. Infrastruktur ICT
Keterbatasan
infrastruktur informasi telekomunikasi (ICT) atau bias pula disebut sebagai
infrastruktur telematika, menjadi kendala structural berikutnya. Ketersediaan
sarana komunikasi per kapita penduduk di Indonesia masih sangat rendah,
sehingga akses informasi untuk tiap warga masyarakat juga relative rendah.
Sebagai contoh, kalau rata-rata hamper separuh penduduk di tiap Negara
berkembang di seluruh dunia sesudah membaca Koran, maka di Indonesia baru
sampai seperempat penduduk yang menikmati surat kabar setiap hari. Dengan
kondisi demikian, maka segala upaya diseminasi (penyebaran) informasi apa saja
secara missal di Indonesia akan berdampak terbatas. Media televisi banyak
membantu, namun jangkauannya juga masih terbatas sehingga penyediaan berbagai
sarana komunikasi itu tetap penting.
Menurut Badan
Telekomonukasi Internasianal (ITU), keterbelakangan infrastruktur telematika
(ICT) mengakibatkan tidak akan optimnalnya berbagai program pembangunan ekonomi
maupun social-budaya. Hal ini sudah terjadi di Indonesia, karena lemahnya
infrastruktur telematika (ICT) kita dibandingkan dengan ASEAN sekalipun. Tetapi
kondisi saudara kita yang berada di pedalaman Kalimantan, papua dan di ribuan
pulau kecil yang jauh dari mana pun.
Tanpa pengembangan
sarana komunikasi, maka masyarakat di berbagai wilayah terpencil akan terus
hidup dalam keterasingan dan isolasi karena begitu terbatasnya sentuhan
informasi dari luar. Program pembangunan
akan sulit menjangkau penduduk di wilayah demikian. Rasio dasar ketersediaan
infrastruktur di Indonesia (formula DAI – ITU) baru mencapai 0,34 (menduduki
peringkat 63 dunia). Dalam hal ini, Indonesia jauh tertinggal dari Singapura
yang mencapai rasio 0,75 (peringkat ke-3), Malaysia dengan 0,57 (peringkat
ke-32) dan Thailand dengan rasio 0,48 (peringkat ke-41). Indonesia memang bukan
Negara pemilik infrastruktur terburuk di dunia, namun masak iya kita betah
berada dalam kategori yang sama dengan Negara-negara terbelakang.
Baru sekitar 3,8 persen
penduduk Indonesia yang memiliki telepon sambungan permanen (telepon rumah).
Itu pun untuk penduduk perkotaan, karena untuk penduduk di kawasan terpencil,
rasianya bahkan jauh lebih rendah lagi, yakni hanya 0,1 persen. Rasia serendah
ini hamper sama dengan rasio pada zazman penjajahan Belanda. Sekitar 40 persen
kota kecamatan di Indonesia sama sekali tidak punya sambungan telepon tetap,
dan lebih dari 60 persen desa di Indonesia tidak punya sambungan tetap sama sekali.
Keterbatasan
infrastruktur juga mengakibatkan struktur biaya yang tidak efisien sehingga
biaya telekomunikasi di Indonesia juga relative mahal. Selama berbagai
keterbatan itu tidak dibatasi, maka selama itu pula struktur biaya sulit
diefisienkan. Namun dewasa ini, biaya di Malaysia sudah jauh lebih murah dari pada di
Indonesia. Jumlah para pahlawan devisa asal Indonesia yang tersebar
dimancanegara saat ini sudah mencapai 4 juta jiwa. Data terbaru yang disajikan
oleh International Telecommunication Union di Tahun 2007 yang dikutip oleh
laporan riset Bank Indonesia edisi Januari 2008 menunjukkan bahwa sampai tahun
itu, infrastruktur telematika/ICT di Indonesia masih sangat terpuruk, dan di
lingkungan 10 negara ASEAN menduduki
papan bawah bersama sejumlah Negara yang memang dikenal masih terbelakang.
Untuk sumbangan telepon tetap, baru 57 orang per 1000 penduduk Indonesia yang
memilikinya.
Hal ini menjadikan
Indonesia hanya menduduki peringkat ke-6 dari 10 negara ASEAN dalam
infrastruktur sambungan telepon tetap. Sampai pada tahun 2007 baru 211 orang
per 1000 penduduk yang menggunakan internet (baru 72 orang per 1000 penduduk).
Di sisi penyedia jasa, perkembangan pembangunan jaringan telepon tetap dan
system telekomunikasi bergerak (STB) juga mengalami perlambatan gara-gara
krisis dam sampai pada tahun 2005 tingkatnya belum dapat menytamai yang sudah
pernah di capai sebelum krisis.
Dewasa ini, masyarakat
dunia kian gandrung dengan internet. Jumlah pengguna internet di Indonesia pun
berkembang dan cukup pesat, tetapi tidak sepesat seperti Negara-negara lainnya.
Biaya bandwidth di Indonesia ternyata luar biasa mahalnya, nahkan jauh lebih
mahal ketimbang harga di Hong Kong dan jerman yang dikenal sebagai wilayah –
wilayah di dunia dengan biaya hidup termahal, juga lebih mahal ketimbang
Negara-negara tetangga terdekat seperti Malaysia dan singapura.
Biaya pulsa telepon
(untuk sambungan berbasis sambungan telepon regular) dan biaya abonemen untuk
ISP (Internet service Provider) di Indonesia jauh lebih mahal dari pada di
banyak Negara lain, bahkan sumbangan telepon di Negara-negara maju yang indeks
biaya hidupnya tinggi dari pada di Indonesia. Informasi membuka gerbang
informasi, dan informasi merupakan kunci kemajuan. Sebaliknya, keterbatasan
infrastruktur ICT/telematika mengakibatkan kesenjangan digital (digital divide)
yang kian tajam antara Indonesia dengan Negara-negara lain yang sedah lebih
maju, yang pada akhirnya kian menyulitkan kita mengejar berbagai ketertinggalan
yang sudah ada selama ini, bahkan ada kemungkinan kita akan makin tercecer.
Dengan kondisi
infrastruktur ICT yang serba terbatas, maka E-readiness Indonesia pun berada di
papan bawah. E-readiness adalah indicator yang mengukur sejauh mana kuantitas
dan kualitas infrastruktur ICT disuatu Negara, serta sejauh mana pemerintah,
kalangan bisnis, dan warga masyarakat luas dapat memanfaatkannya dalam kegiatan
pekerjaan atau minatnya masing-masing. Pada pemeringkatan E-readiness yang
dilakukan oleh Economist Intelligent Unit (EIU) ada enam criteria yang
digunakan yakni (1) adopsi perangkat teknologi ICT itu sendiri oleh masyarakat
luas, termasuk kalangan bisnis dengan bobot skor 25 persen, (2) tingkat
konektivitas dan infrastruktur teknologi yang tersedia dengan bobot 20 persen,
(3) lingkungan bisnis ICT yang berbovot 15 persen, (4) lingkungan social dan
cultural di masyarakat yang turut menentukan dengan bobot 15 persen, (5) factor
kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku berkenaan dengan ICT
atau telematika dengan bobot 10 persen, (6) isi dan program pengembangan ICT
oleh pemerintah dengan bobot 15 persen.
Dalam dua kali
penelitian untuk pemeringkatan terakhir (tahun 2008 dan tahun 2007) Indonesia
sama-sama memperoleh skor 3,59 dan 3,39 yang terbilang sangat rendah. Namun
dalam urutan Indonesia justru merosot .
Dari 69 negara yang disurvei pada tahun 2007, Indonesia menempati urutan
ke-67 atau ketiga dari bawah, sedangkan dari 70 negara yang disurvei pada tahun
2006 indonesia menempati urutan ke-68 dari 70 negara yang di survey, atau tetap
peringkat ketiga dari bawah. Indonesia juga kalah dari Filipina, india dan Sri
Lanka. Padahal, kebanyakan computer yang digunakan diberbagai instansi
pemerintah di Sri Lanka masih berkelas Pentium I, dan umumnya masih memakai
printer dot matriks.
0 comments:
Posting Komentar