Artikel mengenai nilai tukar rupiah
Positif-Negatif Kebijakan BI Rate
Jumat, 06 Des 2013 07:47 WIB - http://mdn.biz.id/n/66343/
- Dibaca: 494 kali
DI sepanjang 2013 Bank Indonesia (BI) gencar menaikkan suku
bunga acuannya (BI
rate). Mulai dari 6% (Juni-Juli), 6,5% (Agustus-September), 7% (Oktober) hingga
menjadi 7,5% menjelang akhir November. Menaikkan dan atau menurunkan BI rate
merupakan otoritas penuh BI sebagai pengambil kebijakan terkait moneter.
Menaikkan BI rate , berupaya menarik rupiah yang "nongkrong" di manca
negara agar kembali masuk ke Indonesia.
Dengan demikian pemilik rupiah (termasuk non rupiah) di mancanegara terpikat karena suku bunga yang menjanjikan (tinggi), sehingga menyimpan dananya di Indonesia.
Kebijakan menaikkan BI rate (hingga ke level 7,5%), oleh berbagai kalangan/pakar ekonomi dinilai bisa memberikan dampak positif atau negatif terhadap dinamika perekonomian nasional.
Dampak positif, pemerintah bisa lebih mengendalikan/menjaga inflasi dan defisit pada neraca transaksi berjalan. Sedangkan dampak negatif, kebijakan menaikkan BI rate mempengaruhi sektor riil terutama usaha kecil dan menengah (UKM). Melesunya kegiatan UKM, karena terbatasnya dana (tingginya suku bunga kredit perbankan) untuk para pelaku usaha kelompok ini dalam melangsungkan usahanya.
Pemerintah sebagai pengambil kebijakan fiskal dan BI sebagai pengambil kebijakan moneter yang bertujuan sama, yakni mendorong pertumbuhan ekonomi dan keuangan yang realistis, harus bergerak (harmonis) meski sesuai bidang tugasnya masing-masing.
Kebijakan menaikkan BI rate, selain menarik dana di luar negeri juga guna mengatasi pelemahan nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, khususnya terhadap US$ atau dolar Amerika. Sekaligus mendukung "empat paket kebijakan pemerintah". Pertama, memperbaiki defisit transaksi berjalan dan nilai tukar rupiah terhadap US$ dengan mendorong ekspor dan keringanan pajak kepada industri tertentu.
Kedua, menjaga pertumbuhan ekonomi, di mana pemerintah memastikan defisit APBN 2013 tetap sebesar 2,38% dan pembiayaan aman. Ketiga, menjaga daya beli, dan keempat, guna mempercepat investasi pemerintah mengefektifkan sistem layanan terpadu satu pintu perizinan investasi.
BI Rate dan Solusi Pemulihan Rupiah
Pengusaha/produsen dan pelaku pasar saat ini butuh kebijakan yang menghasilkan dalam waktu segera (berjangka pendek). Jika memungkinkan, pemerintah menalangi sementara selisih kurs khusus impor barang, paling tidak selama enam bulan. Selisih kelebihan biaya impor ditanggung pemerintah, sementara produsen/importir membayar harga barang impornya dipatok pada kurs (ideal) Rp 10.000 per US$.
Hanya saja, timbul pertanyaan, dengan kurs rupiah yang sudah menembus level Rp 12.000 per US$ apa ada uang pemerintah menalangi selisih kurs, misalnya sebesar Rp 2.000? Padahal cadangan devisa, transaksi perdagangan dan APBN sudah defisit (tekor). Jika kebijakan menalangi dipaksakan dikhawatirkan berpotensi menimbulkan masalah baru bagi pemerintah.
Sementara di lain pihak, akibat melemahnya nilai tukar rupiah bunga utang pemerintah juga membengkak. Terlebih jika penaikan BI rate ternyata tidak berdaya menarik rupiah/non rupiah dari mancanegara, dikhawatirkan akan merunyamkan perkenomian/keuangan negara.
Guna bisa kembali menggairahkan sektor riil sebagai akibat pelemahan nilai tukar rupiah dan seiring dengan kebijakan menaikkan BI rate serta empat paket kebijakan pemerintah, disarankan pemerintah mengambil langkah-langkah (solusi) berikut.
1. Memberikan insentif kepada para pengusaha industri/produsen yang menggunakan bahan baku impor untuk menggunakan US$ bernilai "patok" Rp 10.000 per US$ paling tidak dalam kurun waktu enam bulan (hingga Juni 2014).
2. Membebaskan pajak penghasilan gaji para pegawai/buruh sekaligus menjaga harmonisasi pengusaha-buruh-pemerintah agar selalu tercipta suasana kondusif.
3. Tidak menaikkan suku bunga kredit untuk perusahaan-perusahaan produsen tertentu yang menggunakan bahan impor untuk produksinya meski BI rate dinaikkan.
4. Menghapus/meniadakan (lagi) biaya-biaya siluman seperti untuk perizinan, biaya-biaya keamanan dan biaya-biaya non operasional/ekonomis lainnya.
Harus Bekerja Sama
Pemerintah dengan empat paket kebijakannya dan BI dengan kebijakan (menaikkan) BI rate-nya yang beralasan untuk mengimbangi tekanan geliat inflasi yang cenderung meliar harus saling bekerja sama secara baik.
Meski BI telah menaikkan BI rate (7,5%), mengusahakan suku bunga kredit bagi pengusaha/produsen yang menggunakan bahan impor sebagai bahan bakunya tidak dinaikkan. Sehingga, sektor riil tetap berjalan meski dengan keuntungan minim, sembari terus mencari solusi terbaik agar tingkat kepercayaan asing bisa pulih kembali.
Sementara dana-dana yang sempat keluar bisa ditarik kembali dari mancanegara, diharapkan peran aktif pemerintah untuk melakukan reformasi di bidang ekonomi dan perbankan.
Juga mengupayakan agar para investor percaya menanamkan investasinya di Indonesia dengan memudahkan perijznan, membatasi gerak unjuk rasa anarkis dan menjaga stabilitas kemanan dalam negeri.
Terpenting lainnya, pemerintah wajib memberdayakan dan mengembangkan produk-produk dalam negeri (pangan dan non pangan) dengan mensupport dana, fasilitas dan pembinaan kepada para petani/perajin untuk bisa memenuhi kebutuhan dalam negeri. Sehingga, pasca terpenuhinya kebutuhan dalam negeri barulah memproduksi untuk tujuan ekspor dan mengurangi berbagai penggunaan barang-barang impor.
Terakhir, melakukan efisiensi terhadap berbagai bidang kehidupan, kedinasan, penanganan/tender berbagai proyek, dan lain-lain. Terutama pemberantasan korupsi melalui political will secara sungguh-sungguh dari pemerintah dan DPR.
(Oleh : Tigor Damanik) Penulis pemerhati ekonomi, tinggal di Medan
Dengan demikian pemilik rupiah (termasuk non rupiah) di mancanegara terpikat karena suku bunga yang menjanjikan (tinggi), sehingga menyimpan dananya di Indonesia.
Kebijakan menaikkan BI rate (hingga ke level 7,5%), oleh berbagai kalangan/pakar ekonomi dinilai bisa memberikan dampak positif atau negatif terhadap dinamika perekonomian nasional.
Dampak positif, pemerintah bisa lebih mengendalikan/menjaga inflasi dan defisit pada neraca transaksi berjalan. Sedangkan dampak negatif, kebijakan menaikkan BI rate mempengaruhi sektor riil terutama usaha kecil dan menengah (UKM). Melesunya kegiatan UKM, karena terbatasnya dana (tingginya suku bunga kredit perbankan) untuk para pelaku usaha kelompok ini dalam melangsungkan usahanya.
Pemerintah sebagai pengambil kebijakan fiskal dan BI sebagai pengambil kebijakan moneter yang bertujuan sama, yakni mendorong pertumbuhan ekonomi dan keuangan yang realistis, harus bergerak (harmonis) meski sesuai bidang tugasnya masing-masing.
Kebijakan menaikkan BI rate, selain menarik dana di luar negeri juga guna mengatasi pelemahan nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, khususnya terhadap US$ atau dolar Amerika. Sekaligus mendukung "empat paket kebijakan pemerintah". Pertama, memperbaiki defisit transaksi berjalan dan nilai tukar rupiah terhadap US$ dengan mendorong ekspor dan keringanan pajak kepada industri tertentu.
Kedua, menjaga pertumbuhan ekonomi, di mana pemerintah memastikan defisit APBN 2013 tetap sebesar 2,38% dan pembiayaan aman. Ketiga, menjaga daya beli, dan keempat, guna mempercepat investasi pemerintah mengefektifkan sistem layanan terpadu satu pintu perizinan investasi.
BI Rate dan Solusi Pemulihan Rupiah
Pengusaha/produsen dan pelaku pasar saat ini butuh kebijakan yang menghasilkan dalam waktu segera (berjangka pendek). Jika memungkinkan, pemerintah menalangi sementara selisih kurs khusus impor barang, paling tidak selama enam bulan. Selisih kelebihan biaya impor ditanggung pemerintah, sementara produsen/importir membayar harga barang impornya dipatok pada kurs (ideal) Rp 10.000 per US$.
Hanya saja, timbul pertanyaan, dengan kurs rupiah yang sudah menembus level Rp 12.000 per US$ apa ada uang pemerintah menalangi selisih kurs, misalnya sebesar Rp 2.000? Padahal cadangan devisa, transaksi perdagangan dan APBN sudah defisit (tekor). Jika kebijakan menalangi dipaksakan dikhawatirkan berpotensi menimbulkan masalah baru bagi pemerintah.
Sementara di lain pihak, akibat melemahnya nilai tukar rupiah bunga utang pemerintah juga membengkak. Terlebih jika penaikan BI rate ternyata tidak berdaya menarik rupiah/non rupiah dari mancanegara, dikhawatirkan akan merunyamkan perkenomian/keuangan negara.
Guna bisa kembali menggairahkan sektor riil sebagai akibat pelemahan nilai tukar rupiah dan seiring dengan kebijakan menaikkan BI rate serta empat paket kebijakan pemerintah, disarankan pemerintah mengambil langkah-langkah (solusi) berikut.
1. Memberikan insentif kepada para pengusaha industri/produsen yang menggunakan bahan baku impor untuk menggunakan US$ bernilai "patok" Rp 10.000 per US$ paling tidak dalam kurun waktu enam bulan (hingga Juni 2014).
2. Membebaskan pajak penghasilan gaji para pegawai/buruh sekaligus menjaga harmonisasi pengusaha-buruh-pemerintah agar selalu tercipta suasana kondusif.
3. Tidak menaikkan suku bunga kredit untuk perusahaan-perusahaan produsen tertentu yang menggunakan bahan impor untuk produksinya meski BI rate dinaikkan.
4. Menghapus/meniadakan (lagi) biaya-biaya siluman seperti untuk perizinan, biaya-biaya keamanan dan biaya-biaya non operasional/ekonomis lainnya.
Harus Bekerja Sama
Pemerintah dengan empat paket kebijakannya dan BI dengan kebijakan (menaikkan) BI rate-nya yang beralasan untuk mengimbangi tekanan geliat inflasi yang cenderung meliar harus saling bekerja sama secara baik.
Meski BI telah menaikkan BI rate (7,5%), mengusahakan suku bunga kredit bagi pengusaha/produsen yang menggunakan bahan impor sebagai bahan bakunya tidak dinaikkan. Sehingga, sektor riil tetap berjalan meski dengan keuntungan minim, sembari terus mencari solusi terbaik agar tingkat kepercayaan asing bisa pulih kembali.
Sementara dana-dana yang sempat keluar bisa ditarik kembali dari mancanegara, diharapkan peran aktif pemerintah untuk melakukan reformasi di bidang ekonomi dan perbankan.
Juga mengupayakan agar para investor percaya menanamkan investasinya di Indonesia dengan memudahkan perijznan, membatasi gerak unjuk rasa anarkis dan menjaga stabilitas kemanan dalam negeri.
Terpenting lainnya, pemerintah wajib memberdayakan dan mengembangkan produk-produk dalam negeri (pangan dan non pangan) dengan mensupport dana, fasilitas dan pembinaan kepada para petani/perajin untuk bisa memenuhi kebutuhan dalam negeri. Sehingga, pasca terpenuhinya kebutuhan dalam negeri barulah memproduksi untuk tujuan ekspor dan mengurangi berbagai penggunaan barang-barang impor.
Terakhir, melakukan efisiensi terhadap berbagai bidang kehidupan, kedinasan, penanganan/tender berbagai proyek, dan lain-lain. Terutama pemberantasan korupsi melalui political will secara sungguh-sungguh dari pemerintah dan DPR.
(Oleh : Tigor Damanik) Penulis pemerhati ekonomi, tinggal di Medan
1. PENDAHULUAN
Bank Indonesia memiliki tugas untuk menjaga
stabilitas moneter antara lain melalui instrumen suku bunga dalam operasi pasar
terbuka. Bank Indonesia dituntut untuk mampu menetapkan kebijakan moneter
secara tepat dan berimbang. Hal ini mengingat gangguan stabilitas moneter
memiliki dampak langsung terhadap berbagai aspek ekonomi. Kebijakan
moneter melalui penerapan suku bunga yang terlalu ketat, akan cenderung
bersifat mematikan kegiatan ekonomi. Tujuan akhir kebijakan moneter adalah menjaga dan memelihara
kestabilan nilai rupiah yang salah satunya tercermin dari tingkat inflasi yang
rendah dan stabil. Untuk mencapai tujuan itu Bank Indonesia menetapkan
suku bunga kebijakan BI Rate sebagai instrumen kebijakan utama untuk
mempengaruhi aktivitas kegiatan perekonomian dengan tujuan akhir pencapaian
inflasi. Namun jalur atau transmisi dari keputusan BI rate sampai dengan
pencapaian sasaran inflasi tersebut sangat kompleks dan memerlukan waktu (time
lag). Perubahan BI Rate mempengaruhi inflasi melalui berbagai jalur,
diantaranya jalur suku bunga, jalur kredit, jalur nilai tukar, jalur harga
aset, dan jalur ekspektasi.
2. TUJUAN
Adapun tujuan dari pembuatan kliping ini yaitu untuk mengetahui dampak peningkatan
suku bunga terhadap nilai tukar rupiah dan
impor
3. PEMBAHASAN
Artikel tersebut berkaitan erat dengan kebijakan moneter oleh Bank
Indonesia. Untuk itu, Bank Indonesia mengambil kebijakan untuk meningkatkan suku
bunga (BI rate), seperti Negara maju lainnya yang mengambil kebijakan untuk
menaikan suku bunga. Negara maju mulai naikan suku bunga
mereka karena ekonomi mereka menunjukkan tanda-tanda perbaikan. Perubahan suku bunga BI Rate
dapat mempengaruhi nilai tukar. Mekanisme ini sering disebut jalur nilai
tukar. Kenaikan BI Rate, sebagai contoh, akan mendorong kenaikan selisih
antara suku bunga di Indonesia dengan suku bunga luar negeri. Dengan
melebarnya selisih suku bunga tersebut mendorong investor asing untuk
menanamkan modal ke dalam instrument-instrumen keuangan di Indonesia seperti
SBI karena mereka akan mendapatkan tingkat pengembalian yang lebih
tinggi. Aliran modal masuk asing ini pada gilirannya akan mendorong
apresiasi nilai tukar Rupiah. Apresiasi Rupiah mengakibatkan harga barang impor
lebih murah dan barang ekspor kita di luar negeri menjadi lebih mahal atau
kurang kompetitif sehingga akan mendorong impor dan mengurangi ekspor.
4. KESIMPULAN
Suku bunga merupakan
merupakan tolak ukur dari kegiatan perekonomian suatu Negara yang berimbas pada
kegiatan perputaran arus keuangan perbankan, inflasi, investasi, dan pergerakan
mata uang di suatu Negara. Tingkat suku bunga menentukan nilai tambah mata uang
suatu Negara. Semakin tinggi suku bunga suatu mata uang, akan semakin tinggi
pula permintaan akan mata uang Negara tersebut. Tingkat suku bunga diatur oleh
bank sentral, dan jika dalam jangka panjang bank sentral selalu menaikan suku
bunga maka trend nilai tukar mata uang Negara tersebut terhadap Negara lain
akan cendrung naik. Hal ini akan terus berlangsung sampai ada faktor lain yang
mempengaruhi atau bank sentral kembali menurunkan suku bunganya. Di satu pihak,
nilai tukar rupiah menguntungkan dengan menurunnya utang luar negeri dan
meningkatnya daya beli, disisi lain akan menyebabkan konsumsi barang impor
meningkat yang menyebabkan impor juga meningkat dan ekspor menurun.
5. SARAN
Adapun saran yang diberikan yaitu tetap melalkukan
penyeimbangan kebijakan moneter dalam mengatur dan mengawasi penguatan nilai
tukar rupiah, agar adanya keseimbangan antara konsumsi barang impor dan
penguatan nilai tukar supaya kinerja ekonomi semakin baik kedepannya.
0 comments:
Posting Komentar