3. Situasi Kelistrikan
Perbandingan
angka konsumsi listrik di Malaysia hampir mencapai 3.000 kwh/kapita/tahun, di
Thailand sekitar 1.500 kwh/kapita/tahun, dan di Cina hamper 1.000 kwh/tahun.
Menurud survei yang dilakukan bank Dunia (2004), kerugian dunia usaha dari
butuknya kualitas pasokan listrik (electricity
outage) di Indonesia telah mencapai di atas 6 persen dari total penjualan.
Tingkat kerugian serupa yang dialami pengusaha di Malaysia serta Cina, dan
bahkan Kambija, ternyata lebih rendah dari Indonsia. Filipina yang tercatat
mengalami kerugian lebih besar dari Indonesia.
Yang sangat menyesakkan , ditengah
keterbatasan kuantitas dan buruknya kualitas pasokan listrik, pengusaha sektor
industry di Indonesia harus membayar tariff listrik yang lebih mahal
dibandingkan dengan rata-rata Negara tetangga. Konsumen listrik industri dibuat
tak berkutik oleh perilaku PT PLN – sebagai satu-satunya pemegang hak pengusaha
listrik di Indonesia (monopoli) – yang menerapkan tariff listrik ‘sesuka hati’.
Praktik yang paling membebani kalangan industry ialah penerapan tarif
“multiguna” yang mencapai sekitar dua sampai tiga kali lipat dari tariff
rata-rata industry. Memasuki tahun 2008, PLN kian tidak berdaya mencukupi
kebutuhan listrik penduduk akibat lonjakan harga-harga energy mulai dari minyak
hingga batu bara.
Semua kalangan diminta “bersabar”
karena pemadaman bergilir benar-benar harus dilakukan. Pusat-pusat pertokoan,
hotel, dan pabrik-pabrik bahkan diminta menyiapkan genset sendiri karena
masalah listrik. Padahal, sebagaimana diperlihatkan pada table III-24 dan
Peraga III-21, biaya listrik dari pengguna genset sendiri (berbahan bakar
diesel) jauh lebih mahal dibandingkan dengan biaya listrik PLN.
Tabel
III-24 :
Konsumsi
Listrik Rata-rata Penduduk
NEGARA
|
1998
|
2000
|
Cina
|
722
|
827
|
Indonesia
|
525
|
584
|
Malaysia
|
2.554
|
2.628
|
Filipina
|
466
|
477
|
Thailand
|
1.345
|
1.448
|
Vietnam
|
232
|
286
|
Kegagalan PLN dalam menyediakan
pasokan listrik secara memadai itu adalah kesalahan strategi periode krisis di
mana PLN menghentikan semua pembangunan infrastruktur kelistrikan karena begitu
terpaku pada kondisi keuangan jangka pendek. Para petinggi PLN tampaknya tidak
mau dianggap tidak becus kalu rapor PLN “merah” dengan angka kerugian.
Pada periode 1968-1993 kapasitas pembangkitan
listrik nasional meroket 24 kali lebih, dari 542 megawatt (MW) menjadi 13.569
MW. Investasi infrastruktur dipacu, khususnya pada periode 1993-1996, sejak
berlakunya UU No. 15/1985 tentang Ketenagalistrikan. PLN membangun kapasitas
pembangkit listrik baru sebesar 7.996 MW dengan jaringan trasmisi sepanjang
6.350 kilometer, gardu-gardu induk berkapasitas 16.816 MVA, serta berbagai
jaringan trasmisi penyalur dan distribusi penunjang. Program listrik masuk desa
dipacu sehingga pada periode itu jumlah desa yang menikmati listrik melonjak
dari 36.243 menjadi 45.941 desa di seluruh wilayah Indonesia.
Selama periode 1999-2001 kapasitas
listrik terpasang hanya naik 1,13 persen, dan tentu saja pada akhirnya PLN
tidak mampu lagi menutupi kebutuhan listrik yang terus meningkat, khususnya
setelah perekonomian Indonesia mulai aktif menggeliat dan lepas dari jebakan
pertumbuhan ekonomi rendah pada pertengahan dasawarsa pertama abad ke-21,
sehingga pertumbuhan tahunan kebutuhan listrik mencapai 8,85 persen per tahun. Ketika
harga minyak dunia terus meroket sejak pertengahan 2004, maka PLN lagi-lagi
mengalami pukulan telak, terutama akibat kesalahannya sendiri. Untuk kesekian
kalinya pertimbangan ekonomis jangka pendek yang dikedepankan oleh manajemen
PLN. Pembangunan pusat pembangkit tenaga listrik non-energi fosil seperti PLTA,
PLTG, atau bahkan PLTS (tenaga surya) memang jauh lebih mahal (juga perlu
pengolahan kapasitas sendiri karena kinerja pembangkit tenaga listrik ini
dipengaruhi oleh cuaca dan kondisi alam), akan tetapi jelas dalam jangka
panjang akan jauh lebih menguntungkan; selain lebih murah, pembangkitan listrik
demikian akan lebih tahan terhadap gejolak harga energi yang kian sering
terjadi di dunia.
Tabel
III-25 :
Perbandingan
Bianya Listrik dari Diesel dan PLN
|
Rp
|
USS
|
||||
Tahun
|
DIESEL
|
PLN
|
DIESEL
|
PLN
|
||
|
Harga/Liter
|
Harga/Kwh
|
Harga/Kwh
|
Harga/LTR
|
Harga/kwh
|
Harga kwh
|
2000
|
Rp
550
|
Rp
164,5
|
Rp
260
|
$ 0.07
|
$ 0.02
|
$ 0.03
|
2001
|
Rp
1.050
|
Rp
314,0
|
Rp
260
|
$ 0.13
|
$ 0.03
|
$ 0.02
|
2002
|
Rp
1.050
|
Rp
314,0
|
Rp
440
|
$ 0.13
|
$ 0.04
|
$ 0.05
|
2003
|
Rp
1.650
|
Rp
493,4
|
Rp
460
|
$ 0.20
|
$ 0.06
|
$ 0.06
|
2004
|
Rp
1.650
|
Rp
493,4
|
Rp
510
|
$ 0.20
|
$ 0.06
|
$ 0.06
|
2005
|
Rp
5.350
|
Rp1.599,7
|
Rp
620
|
$ 0.64
|
$ 0.17
|
$ 0.07
|
2006
|
Rp6.285
|
Rp
1.879
|
Rp
620
|
$ 0.70
|
$ 0.21
|
$ 0.07
|
Tabel
III-26 :
Potensi
Pengambangan Pusat dengan Energi Pembangkit Listrik Tergantikan
Jenis Energi
|
Potensi
|
Kapasitas Terpasang
|
Persentasi
Pemanfaatan (%)
|
Hidro
|
75,67 GW
|
4.200 MW
|
5,55
|
Geothermal
|
27 GW
|
802 MW
|
2,97
|
Mini/mikro
hidro
|
712 MW
|
206 MW
|
28,93
|
Biomass
|
49,81 GW
|
302,4 MW
|
0,61
|
Surya
|
4,8 kwh/m2/hari
|
5 MW
|
-
|
Angin
|
3-6 m/dt
|
0.5 MW
|
-
|
Kesalahan fatal terbesar yang
dilakukan PLN adalah yang lantas dipilih sebagai solusi bukannya pengadaan
kembali pembangunan infrastruktur kelistrikan, melainkan justru reaksi
sementara gampangan berupa pemadaman bergilir dan kampanye penurunan konsumsi
listrik yang yang secara ekonomis bersifat kontraproduktif. Untuk menciptakan
pasokan listrik secara mencukupi dan berkesinambungan dalam berjangka panjang,
patut dipertimbangkan pembangunan pusat-pusat pembangkitan listrik dengan
energi tergantikan, dan sudah waktunya pemakaian energi tak tergantikan
(minyak, batu bara, dan gas) diakhiri karena selain harganya kian mahal,
pasokan nya juga terbatas.
0 comments:
Posting Komentar