Senin, 24 Desember 2012

MASALAH STRUKTURAL KEDUA : INFRASTRUKTUR FISIK

Posted by Rivy at 13.59

3. Situasi Kelistrikan
            Perbandingan angka konsumsi listrik di Malaysia hampir mencapai 3.000 kwh/kapita/tahun, di Thailand sekitar 1.500 kwh/kapita/tahun, dan di Cina hamper 1.000 kwh/tahun. Menurud survei yang dilakukan bank Dunia (2004), kerugian dunia usaha dari butuknya kualitas pasokan listrik (electricity outage) di Indonesia telah mencapai di atas 6 persen dari total penjualan. Tingkat kerugian serupa yang dialami pengusaha di Malaysia serta Cina, dan bahkan Kambija, ternyata lebih rendah dari Indonsia. Filipina yang tercatat mengalami kerugian lebih besar dari Indonesia.
            Yang sangat menyesakkan , ditengah keterbatasan kuantitas dan buruknya kualitas pasokan listrik, pengusaha sektor industry di Indonesia harus membayar tariff listrik yang lebih mahal dibandingkan dengan rata-rata Negara tetangga. Konsumen listrik industri dibuat tak berkutik oleh perilaku PT PLN – sebagai satu-satunya pemegang hak pengusaha listrik di Indonesia (monopoli) – yang menerapkan tariff listrik ‘sesuka hati’. Praktik yang paling membebani kalangan industry ialah penerapan tarif “multiguna” yang mencapai sekitar dua sampai tiga kali lipat dari tariff rata-rata industry. Memasuki tahun 2008, PLN kian tidak berdaya mencukupi kebutuhan listrik penduduk akibat lonjakan harga-harga energy mulai dari minyak hingga batu bara.
            Semua kalangan diminta “bersabar” karena pemadaman bergilir benar-benar harus dilakukan. Pusat-pusat pertokoan, hotel, dan pabrik-pabrik bahkan diminta menyiapkan genset sendiri karena masalah listrik. Padahal, sebagaimana diperlihatkan pada table III-24 dan Peraga III-21, biaya listrik dari pengguna genset sendiri (berbahan bakar diesel) jauh lebih mahal dibandingkan dengan biaya listrik PLN.




Tabel III-24 :
Konsumsi Listrik Rata-rata Penduduk
NEGARA
1998
2000
Cina
722
827
Indonesia
525
584
Malaysia
2.554
2.628
Filipina
466
477
Thailand
1.345
1.448
Vietnam
232
286


            Kegagalan PLN dalam menyediakan pasokan listrik secara memadai itu adalah kesalahan strategi periode krisis di mana PLN menghentikan semua pembangunan infrastruktur kelistrikan karena begitu terpaku pada kondisi keuangan jangka pendek. Para petinggi PLN tampaknya tidak mau dianggap tidak becus kalu rapor PLN “merah” dengan angka kerugian.
            Pada periode 1968-1993 kapasitas pembangkitan listrik nasional meroket 24 kali lebih, dari 542 megawatt (MW) menjadi 13.569 MW. Investasi infrastruktur dipacu, khususnya pada periode 1993-1996, sejak berlakunya UU No. 15/1985 tentang Ketenagalistrikan. PLN membangun kapasitas pembangkit listrik baru sebesar 7.996 MW dengan jaringan trasmisi sepanjang 6.350 kilometer, gardu-gardu induk berkapasitas 16.816 MVA, serta berbagai jaringan trasmisi penyalur dan distribusi penunjang. Program listrik masuk desa dipacu sehingga pada periode itu jumlah desa yang menikmati listrik melonjak dari 36.243 menjadi 45.941 desa di seluruh wilayah Indonesia.
            Selama periode 1999-2001 kapasitas listrik terpasang hanya naik 1,13 persen, dan tentu saja pada akhirnya PLN tidak mampu lagi menutupi kebutuhan listrik yang terus meningkat, khususnya setelah perekonomian Indonesia mulai aktif menggeliat dan lepas dari jebakan pertumbuhan ekonomi rendah pada pertengahan dasawarsa pertama abad ke-21, sehingga pertumbuhan tahunan kebutuhan listrik mencapai 8,85 persen per tahun. Ketika harga minyak dunia terus meroket sejak pertengahan 2004, maka PLN lagi-lagi mengalami pukulan telak, terutama akibat kesalahannya sendiri. Untuk kesekian kalinya pertimbangan ekonomis jangka pendek yang dikedepankan oleh manajemen PLN. Pembangunan pusat pembangkit tenaga listrik non-energi fosil seperti PLTA, PLTG, atau bahkan PLTS (tenaga surya) memang jauh lebih mahal (juga perlu pengolahan kapasitas sendiri karena kinerja pembangkit tenaga listrik ini dipengaruhi oleh cuaca dan kondisi alam), akan tetapi jelas dalam jangka panjang akan jauh lebih menguntungkan; selain lebih murah, pembangkitan listrik demikian akan lebih tahan terhadap gejolak harga energi yang kian sering terjadi di dunia.
Tabel III-25 :
Perbandingan Bianya Listrik dari Diesel dan PLN

Rp
USS
Tahun
DIESEL
PLN
DIESEL
PLN

Harga/Liter
Harga/Kwh
Harga/Kwh
Harga/LTR
Harga/kwh
Harga kwh
2000
Rp 550
Rp 164,5
Rp 260
$ 0.07
$ 0.02
$ 0.03
2001
Rp 1.050
Rp 314,0
Rp 260
$ 0.13
$ 0.03
$ 0.02
2002
Rp 1.050
Rp 314,0
Rp 440
$ 0.13
$ 0.04
$ 0.05
2003
Rp 1.650
Rp 493,4
Rp 460
$ 0.20
$ 0.06
$ 0.06
2004
Rp 1.650
Rp 493,4
Rp 510
$ 0.20
$ 0.06
$ 0.06
2005
Rp 5.350
Rp1.599,7
Rp 620
$ 0.64
$ 0.17
$ 0.07
2006
Rp6.285
Rp 1.879
Rp 620
$ 0.70
$ 0.21
$ 0.07







Tabel III-26 :
Potensi Pengambangan Pusat dengan Energi Pembangkit Listrik Tergantikan
Jenis Energi
Potensi
Kapasitas Terpasang
Persentasi Pemanfaatan (%)
Hidro
75,67 GW
4.200 MW
5,55
Geothermal
27 GW
802 MW
2,97
Mini/mikro hidro
712 MW
206 MW
28,93
Biomass
49,81 GW
302,4 MW
0,61
Surya
4,8 kwh/m2/hari
5 MW
-
Angin
3-6 m/dt
0.5 MW
-

            Kesalahan fatal terbesar yang dilakukan PLN adalah yang lantas dipilih sebagai solusi bukannya pengadaan kembali pembangunan infrastruktur kelistrikan, melainkan justru reaksi sementara gampangan berupa pemadaman bergilir dan kampanye penurunan konsumsi listrik yang yang secara ekonomis bersifat kontraproduktif. Untuk menciptakan pasokan listrik secara mencukupi dan berkesinambungan dalam berjangka panjang, patut dipertimbangkan pembangunan pusat-pusat pembangkitan listrik dengan energi tergantikan, dan sudah waktunya pemakaian energi tak tergantikan (minyak, batu bara, dan gas) diakhiri karena selain harganya kian mahal, pasokan nya juga terbatas. 

0 comments:

Posting Komentar

 

BLUE BUTTERFLY Copyright © 2010 Design by Ipietoon Blogger Template Graphic from Enakei | web hosting